Jumat, 28 Maret 2008

Spotlight: Malaysian handicrafts, but made in China

Malaysia - Four ministries are working to find ways to reduce the influx of foreign-made `Malaysian` handicrafts and souvenir items into the country.
The handicraft may look Malaysian but the labels state otherwise. And these souvenir items are also far cheaper than local-made ones.
Random checks at shopping malls and other places around Kuala Lumpur that are popular with tourists, such as Central Market and Petaling Street, showed that most of the "local" handicraft and souvenir items are from China.
These include T-shirts and silver key chains, with "Malaysia" emblazoned on them, or zinc-alloy items such as kris and replicas of the Petronas Twin Towers.
There are also wooden carvings from Indonesia and bags from Thailand and India.
Former culture, arts and heritage minister Datuk Seri Dr Rais Yatim said these imports were in the market simply because they were cheaper.
He pointed out that Malaysia had to import the raw materials which are used to make handicrafts.
"China has low-cost labour and the raw materials are sourced locally. We have to import them. The fabric for our batik is also from there because we don`t manufacture cotton or silk," he said.
His former ministry, now renamed Unity, Culture, Arts and Heritage, works with the Domestic Trade and Consumer Affairs Ministry, the International Trade and Industry Ministry and the Tourism Ministry to reduce the influx of foreign products.
One of the strategies adopted by the ministry is to promote the local handicraft industry through the One District, One Industry (SDSI) initiative.
"In the east coast, for example, the emphasis will be on batik, wood carving and woven products. These would help contribute to the socio-economic development of rural areas," Rais, now the foreign minister, said in an interview before the dissolution of parliament last month.
Local wood carvings and T-shirts are sold at twice the price of handicraft and souvenirs from other countries.
A wooden mask from Sarawak, for example, costs RM400, while a bigger one from Thailand is retailed at half the price.
A locally produced 30cm-high pewter ware Petronas Twin Towers is priced at RM260, while a zinc-alloy replica from China costs RM60.
Made in Malaysia T-shirts are priced from RM25 upwards but those sold at Petaling Street go as low as RM5 a piece.
Karyaneka general manager Zuraidah Abd Razak said consumers should consider the products` quality rather than just settle for lower-priced items .
She said that local products were longer lasting and had better finishing.
"We cannot stop foreign products from coming in, but if consumers are made aware of the quality differences, they will pick the locally made souvenirs.
"We can`t reduce the price of local handicraft because it would affect the entre-preneurs. But they can set a benchmark by focusing on quality and creativity."
Karyaneka, a subsidiary of Malaysian Handicraft Development Corporation (Kraftangan Malaysia), is entrusted with the task of marketing locally produced handicraft and souvenirs at the Kuala Lumpur Craft Complex in Jalan Conlay in the city.
Zuraidah said the only way they could protect the Malaysian handicraft industry was to ensure that locally-made products adhered to quality standards such as the recently introduced Malaysian batik standard endorsed by Sirim.
"Entrepreneurs should always innovate because buyers prefer new designs and authenticity," she said.
The Kuala Lumpur Craft Complex is the only place in the city which sells nothing but locally-made handicraft and souvenir items. Zuraidah said many people were surprised when they found out that handicraft sold at the complex were affordable.
"Some consumers who thought our handicraft were expensive changed their mind when they visited the place. Of course we have items that cost thousands of ringgit but we also have cheap ones."
For instance, there are silver and copper corporate gift items which are priced at RM13,000. But there are also RM38 T-shirts and RM5 mengkuang gift boxes (Shuhada Elis and Azira Shaharuddin).
Source: www.nst.com.my

Riskan, Ruang Gerak Seni Teater di Indonesia

JAKARTA, KCM - Meskipun seni teater di Indonesia bisa dikatakan tengah naik daun, ternyata ruang geraknya cukup riskan. Hal tersebut disampaikan seniman teater Nano Riantiarno usai menyaksikan pentas teater siswa dalam rangkaian acara bulan bahasa yang diadakan Sekolah Pelita Harapan Lippo Karawaci, Tangerang, Jumat (9/11).
"Para pelaku teater menghadapi tantangan yang berbeda jika dibandingkan pada masa Orde Baru. Sekarang teater punya ruang gerak luas dalam hal penyampaian ide, namun riskan menghadapi penyensoran dari berbagai pihak terutama yang mengatasnamakan golongan tertentu," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Nano, seniman teater harus menyiasatinya dengan menyajikan karya yang merangkul dan menyentuh hati semua pihak.
Pemimpin Teater Koma ini tengah melakukan upaya provokasi untuk menggerakkan seni teater di sekolah-sekolah.
Menurut Nano, dari sanalah akan muncul seniman-seniman muda yang bisa menghadirkan variasi lain dalam perjalanan teater di Indonesia. "Sayangnya, hanya sebagian kecil sekolah yang dapat memfasilitasi siswanya dalam bidang seni teater. Sedangkan berharap dari pemerintah sangat sulit, tidak ada dukungan politis terhadap seni teater karena kita dianggap sebagai tukang kritik. Padahal kritik itu justru menunjukkan adanya sistem yang tidak beres," papar Nano. (IDW)

Ketika Manusia Dirundung Kebengisan

Peneropong: Postinus Gulö. Kategori: Seni-Teater. Judul Naskah: Krapp’s Last Tape (1958). Penulis Naskah: Samauel Beckett. Pernah dipentaskan secara tunggal oleh Tony Broer, di FF-Unpar (18/11/2006). Tony Broer adalah aktor teater dan dosen STSI, Bandung.
Coba Anda bayangkan jika manusia menjadi tidak manusiawi. Ia pantas dilabel- jika ada seseorang yang latah menamparnya - dengan sebuah sinisme: dasar bengis. Teater monolog yang berjudul: Krapp’s Last Tape (Pita Terakhir), karya Samauel Beckett yang lahir pada tanggal 13 April 1906 di Foxrock, County Dublin, Irlandia adalah sebuah deskripsi kebengisan manusia di zaman perang Dunia II. Kala itu, seolah manusia ibarat mesin yang tak punya hati. Jadi, sebenarnya pesan moral teater ini hampir sejalan dengan sindiran Thomas Hobbes: manusia adalah makhluk anti sosial, bagai mesin tak berakal.
Menurut Beckett, KRAPP’S LAST TAPE is an extraordinary study of mortality, creativity and memory. Beckett hidup di era yang tak jelas, nothing, absurd, karena berjuta-juta manusia yang mati konyol dan yang harus menanggung penderitaan akibat Perang Dunia II.
Krapp’s Last Tape sebuah catatan memorial mengenang zaman yang brutal Perang Dunia II itu. Penguasa di era Perang Dunia II seolah tak peduli pada penderitaan dan kematian orang-orang tak berdosa (innocent). Sebagai seorang yang memiliki daya compassion, Beckett mampu menangkap roh zaman (zeitgeist) yang dilanda kengerian dan ketakutan. Oleh karenanya, Beckett yang juga dilanda kefrustrasian pernah berkata: “Perhaps my best years are gone. When there was a chance of happiness. But I wouldn’t want them back. Not with the fire in me now. No, I wouldn’t want them back.” Masa lalu beliau sangat suram, sehingga ia tak mau terulang – dalam dirinya - segala kepahitan yang pernah ia alami.
Perang Dunia II begitu brutal. Bengis. Tak manusiawi. Itu sebabnya Beckett anti perang, anti kekerasan. Walau demikian, Beckett sadar bahwa kefrustrasiannya hanya dapat teratasi jika ia bersedia mengenang masa-masa romantis yang pernah ia alami. Dalam adegan-adegan Krapp’s Last Tape ini, Tony Broer memperlihatkan saat-saat kegagalan yang dialami Beckett yang seolah tak pernah terselesaikan. Walaupun demikian, Beckett tetap bertahan untuk hidup karena ia selalu mendengarkan kembali masa lalu romantisnya yang telah ia rekam sendiri. Jadi, jika Anda termasuk orang yang tertekan, memiliki pengalaman buruk, ingatalah saat romantis, saat yang menyenangkan yang pernah Anda alami. Jadikanlah kenangan indah Anda sebagai teman Anda di saat Anda merasa kesepian. Ini bukan sekedar bernostalgia melainkan mencoba melepaskan tembok keterkungkungan kita.
Saat ini kita tidak aman (?). Seolah maut selalu mewajah. Perang terjadi di mana. Pernah, Indonesia panas. Poso bak kota angker bersimbah darah, itu terjadi di masa silam. Papua terus angkat bicara, ingin merdeka. Mereka barangkali tak salah. Pasti ada hal yang menjadi pemicunya. Pemicu itu tak tepat jika didiamkan. Jika dibiarkan api menjalar di sekam, hati-hati, apinya akan membabat habis sekamnya tanpa Anda tahu kapan ia menyambar Anda. Adalah menarik komentar dan apresiasi serta alur pemikiran Tony Broer terhadap naskah yang ditulis pada tahun 1958 ini. Tony Broer mengatakan bahwa naskah ini ditulis oleh Beckett pada dekade keabsurditasan. Zaman yang digeluti Beckett tak jauh berbeda dengan apa yang Indonesia dan dunia alami saat ini. Manusia Indonesia itu absurd, ganjil, aneh. Sampah dibuang ke mana-mana tanpa mempedulikan akibatnya. Akibat sampah tak jauh dari akibat perang: manusia tetap jadi korban. Masih masuk akal jika yang longsor adalah gunung. Tapi di Indonesia lain halnya, justru sampah pun bisa longsor dan menimbun seratusan manusia (seperti yang terjadi di Leuwi Gajah tahun 2005 silam). Lumpur di Sidoarjo adalah akibat kerakusan manusia (bencana yang disengaja) tapi anehnya pemerintah seolah biasa-biasa saja; tak ada tindakan yang tegas untuk menanggapinya.
Lebih jauh Tony Broer melihat keabsurditasan dijenjang internasional. Keegoisan Amerika Serikat di bawah komando Presiden John Walker Bush yang menginvasi Irak telah menimbulkan ratusan ribu orang meninggal. Di Irak, berapa anak tanpa dosa yang kehilangan orangtua hanya gara-gara ulah Bush untuk mencapai tujuannya yang tak jelas. Bush rakus kuasa! Ia ingin menjadi penguasa tunggal dunia! Tentara-tentara Amerika tak peduli pada nyawa orang (?). Main babat saja! Itu sebabnya sebelum menampilkan teater monolog Krapp’s Last Tape, Tony Broer memutar video clip, sepenggal aksi brutal penembak misterius sebagai bayangan betapa kejinya kejatahan perang.
Melihat situasi seperti sekarang ini, barangkali ada benarnya pendapat Thomas Hobbes: manusia ibarat harimau bagi sesamanya, homo homini lupus. Atau teori Darwinisme: survival of the fittest, yang kuat dialah yang menang! Sekarang, dunia menjadi lembah air mata (lacri marrum valle), samudera penderitaan (the ocean of suffering). Jika Thomas Aquinas pernah berkata, hidup bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk menjadi berkat bagi orang lain (“Non sibi vivere, sed et aliis proficere”), di zaman sekarang justru yang terjadi adalah, manusia menjadi neraka bagi sesamanya.
Teater ini sebuah pisau refleksi yang mencoba menguliti hati nurani para penguasa. Agar topeng keegoisan terlepas sehingga menyembul belaskasihan. Teater ini barangkali (adalah) menjadi refleksi bagi para penguasa Indonesia yang tergelincir ke dalam belukar keegoisan dengan membabat habis uang rakyat melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di negeri ini, kekuasaan, jabatan selalu diburu. Para pemburu kekuasaan cerdik melihat bahwa di balik kekuasaan ada setumpuk “kesempatan” yang bisa dimanfaatkan! Oleh karenanya, jangan heran jika demi mencapai kekuasaan, apapun dilakukan dan dipaksakan. Korupsi, kolusi dan nepostisme menjadi cara yang dianggap paling tepat. Maka, di balik perjuangan menggapai takhta kekuasaan semakin jelas tujuannya: bukan untuk menjadi pelindung rakyat melainkan untuk menjawab kerinduan dalam terminologi keegoisan. Keegoisan para penguasa di negeri ini semakin diperjelas oleh banyaknya para penguasa yang telah dijatuhi hukuman karena KKN. Ya, semoga mereka insaf saja!
Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat, Unpar, Bandung

DRAMA REALIS Oleh:Nur Iswantara

REALISME dalam drama atau teater sangat berhubungan erat dengan tradisi drama atau teater realis di Barat. Drama atau teater realis lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mapan. Di Inggris, drama realis tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.Berkaitan dengan seni peran dapat diamati pada periode besar teater Elizabethan. Perkembangan dan pertumbuhan imperius-Inggris membuka kesempatan bagi kelompok saudagar dan pemilik-pemilik toko untuk berkembang secara ekonomis dan politis. Makin lama mereka semakin kuat dan akhirnya tumbuh pula harga dirinya sebagai kelas tersendiri. Di dalam dunia teater, pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir.
Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Para Raja dan kaum bangsawan sudah tersisih dari kehidupan, maka mereka pun tersisih dari pentas pula.
Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan demikian dikenal dalam masyarakat yang menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal.
Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.Sehingga tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas karya Tennesse William. Penulis pernah memainkan tokoh Fritz, Doni Kus Indarto memeranan Willem, Sari Nainggolan sebagai Corrie dan Sekar Pamungkas sebagai Jane waktu studi Penyutradaraan II pada Jurusan Teater ISI Yogyakarta di Kampus Utara Karangmalang (1987).
Individu-individu yang hadir di atas pentas mewakili dirinya sendiri, mereka hadir dalam keamungan atau keunikan di dalam pikiran, perasaan, temperamen dan pandangan hidup. Mereka adalah manusia darah daging yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realisme, protagonis dan antagonis merupakan sarana pelaksana konflik. Ia adalah tokoh yang bertentangan dengan setengah pihak lainnya, baik lingkungan sosial, spiritual atau alam. Ia berusaha mengalahkan, menundukkan lawannya dan menyadari keterbatasan, kelemahannya dengan tabah dan agung maka terjadilah tragedi. Jika mereka dapat menerima kelemahan dan keterbatasannya dengan tertawa maka lahir komedi. Apapun yang terjadi pihak protagonis dan antagonis merupakan individu yang menentukan.
Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat. Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dsbnya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui -tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).Untuk itu dapat ditangkap bahwa realisme memuat pandangan dunia, yang memandang dunia dan alam sebagai sesuatu sasaran untuk ditaklukkan dan ditundukkan. Kemudian dimanfaatkan, dieksploatasi. Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Artaud menolak aliran realisme.

Latar Kebangkitan
Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Sejak jaman Renesan, dunia perdagangan di Eropa mulai maju. Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang. Dampak yang muncul pada dunia teater, kelas burjuasi tak ingin lagi menonton lakon raja-raja, pangeran dan putri-putri Mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Fenomena ini menggerakan George Lillo menulis tentang magang, pelacur dan saudagar dalam naskah saudagar dari London, atau Tragedi George Barnwell (1731). Naskah ini tidak menghadirkan satria-satria, putri-putri serta pahlawan-pahlawan dengan zirah mengkilap dan pedang bergemerincing.
Kebangkitan kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan. Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comnte, serta teori-teori psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.
Sikap dan cara pandang ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Peri-peri dan tukang tenung berada di luar dunia obyektif. Dengan sendirinya para pangeran dan para putri sudah saatnya tersisih dalam kehidupan panggung.
Munculnya kelas burjuasi dan perkembangan llmu Pengetahuan abad XIX, akhirnya membangkitkan suatu pola hidup individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas burjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau, langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat. Mereka menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan ini bukan saja tidak dikenal dalam masyarakat komunal-feodal, akan tetapi justru menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal tentang individu. Oleh karena itu mudah dipahami jika dalam pentas realisme, individu-individu dibuat sangat menonjol keberadaannya. Individu sebagai tokoh protagonis dalam tindakannya bisa menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh dalam drama Klasik dan Romantik yang dilandasi semangat mitis ingin menegakkan moral dan kebenaran. Para tokoh yang dimunculkan dalam drama Romatis bisa dikatakan sebagai manusia setengah dewa
Romantikisme secara mencolok menampilkan konflik antara kejahatan dan kebaikan, yang kelihatannya diwarisi dari mitos-mitos Yunani Kuno sebagai tragedi kehidupan. Dalam Romantikisme diciptakan sikap yang kontras dalam menanggapi kebenaran dan dosa, antara roh dan nafsu kedagingan. Cinta juga selalu menjadi bagian yang terus dipertahankan ketika berhadapan dengan kekhaosan hidup. Romantikisme tidak ragu untuk mengafirmasikan cinta dan pengorbanan sebagai tindakan heroik. Manusia semacam Robin Hood yang hidup di hutan dengan kawan rampoknya, yang dikejar-kejar penguasa tapi tetap memperjuangkah rakyat miskin, adalah gagasan tokoh dari abad Romantikisme.
Realisme Konvensional
Setelah digambarkan bahwa realisme lahir dari dinamika kehidupan masyarakat Barat yang menekankan obyektifitas pengamatan, maka yang nampak di atas panggung kemudian ialah sebuah kehidupan yang diusahakan sesuai dengan aslinya. Dinyatakan oleh Kernodle bahwa realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan sering mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton. Kalau cerita mengenai sejarah, misalnya tentang Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, maka ruang dan keseluruhan perlengkapan pentas disesuaikan sedekat mungkin dengan bentuk dan gaya zaman itu. Pertunjukan teater semacam ini dikatakan oleh Saini (1991) sebagai model teater realisme konvensional.
Selain properties, setting dan kostum yang secara pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris. Dasar dari pemeranan ini mengungkapkan tingkah laku manusia sesuai dengan penernuan-penernuan di bidang psikologi.
Pendekatan pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme. Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi. Mereka bukan lagi para pangeran dan putri yang hidup dalam suasana glamour istana. Mereka adalah manusia darah daging yang harus berjuang keras dalam situasi sosial abad XIX dengan adanya revolusi industri.
Pada masa itu kemiskinan dan kejahatan telah merajalela lebih hebat daripada masa sebelumnya. Ide-ide tentang kebebasan dan persaudaraan kaum romantik telah runtuh. Akhirnya para tokoh yang diciptakan dalam lakon- lakon realisme adalah mereka yang bertentangan dengan lingkungan sosial, spiritual, maupun alam.
Dr. Stockman, dalam Musuh Masyarakat karya Henrik Ibsen, adalah salah satu contoh tokoh yang harus terpojok karena melawan lingkungan sosialnya. Meskipun ia benar narnun hukum masyarakat dan pemerintah menentukan lain. Penemuan adanya virus yang menyebar dalam pemandian kota oleh Dr. Stockman telah membuat resah masyarakat dan pemerintah Tempat pemandian itu adalah sumber pendapatan daerah. Jika benar bahwa air telah tercemar maka pemandian tersebut harus ditutup. Usaha ini dengan sendirinya merugikan pemerintah dan masyarakat. Akhirnya kebenaran yang diternukan oleh Dr. Stockman diangap fitnah, dan dia harus disingkirkan.
Drama-drama Ibsen menekankan gambaran watak manusia. Obsesinya sekitar pengaruh nilai-nilai palsu dalam masyarakat terhadap kehidupan pribadi yang harus berbuat secara palsu pula. Contoh kepalsuan ini sangat nampak dalam naskahnya yang lain, yaitu Hantu-Hantu. Naskah ini mengisahkan usaha Ny. Alving untuk menutupi masa lalu suaminya yang penuh noda. la berusaha menghilangkan noda dengan mendirikan RumahYatim dan menyumbang Gereja. Narnun bisakah hal ini menghapus kebobrokan suaminya? Ternyata tidak. Anak Ny. Alving tetap hadir sebagai pemuda yang mentalnya terbelakang. la terserang penyakit sipilys, turunan dan bapaknya. Bayang-bayang hitam masa lalu ternyata tak bisa dihilangkan dengan mudah.
Cukup beralasan jika akhirnya Saini K.M beranggapan bahwa teater realisme adalah teater tokoh, teater individu. Individu sebagai protagonis dengan segala tindakannya menimbulkan konflik dengan Lingkungannya, masyarakatnya, yang menimbulkan drama. Begitu pentingnya protagonis-individu ini, hingga dalam realisme ia mengambil setengah dari pentas sebagai ajang konflik.
Realisme konvensional juga menanarnkan ciri-cirinya pada gaya penulisan sastra lakon. Lakon realisme konvensional dituntut untuk menggunakan struktur yang terjalin dengan pola sebab-akibat. Tuntutan tersebut cukup beralasan karena lakon realis harus menampilkan peristiwa secara rasional. Alur cerita semacam ini cenderung mewujudkan struktur yang dikenal dengan nama Struktur Piramida Aristoteles. Struktur ini memiliki unsur- unsur yang berturut-turut meliputi eksposisi (pembukaan), komplikasi (keruwetan), krisis (penggawatan), klimaks (puncak kegawatan), resolusi (penguraian), konklusi (kesimpulan). Jika digambarkan dalam sebuah diagram, maka rumusan di atas berbentuk seperti bangun segitiga, dengan klimaks sebagai puncaknya.
Setelah dirintis oleh George Lillo, Henrik Ibsen menempati kedudukan yang terhormat dalam hubungannya dengan realisme konvensional. Dialah puncak terpenting aliran realisme. Pada Ibsen metode dan tujuan realisme diterapkan sebaik-baiknya. Pada tahun 1875 Ibsen mulai menulis naskah dan tahun tersebut dianggap sebagai permulaan teater modern.
Naskah-naskah Ibsen sangat berbeda dengan kecenderungan penulisan naskah sebelumnya. Pada Musuh Masyarakat atau Hantu-Hantu misalnya, tidak terlihat adanya penulisan yang bertele-tele, dipenuhi bumbu-bumbu khotbah dan kata-kata romantis lainnya. Dialog-dialog tertulis seperti percakapan keseharian. Pola ini akan mengarahkan pemeran untuk berbicara tidak seperti berdeklamasi. Akhirnya model penulisan semacam itu disyahkan sebagai gaya realisme konvensional. Dapatlah dipahami kalau Ibsen tidak saja dianggap sebagai Bapak Realisme tetapi juga sebagai Bapak Teater Modern, karena realisme konvensional adalah salah satu gejala modernisme.

Realisme dan Naturalisme
Ternyata pemahaman orang pada realisme sangat beragam dan memancing perdebatan. Tidak selamanya kehidupan nyata dapat ditransformasikan ke atas panggung. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa pandangan dan interpretasi terhadap dunia nyata harus diseleksi. Konsep realisme tenis bergulir dan perlu didefinisikan kembali. Kemudian muncullah berbagai varian dari realisme. Salah satu varian itu ialah naturalisme.
Menurut Jakob Sumardjo, naturalisme merupakan sisi ekstrim dari Gerakan Realisme. Pada dasarnya naturalisme mempercayai bahwa kebenaran dunia dapat diketahui dengan lima indra manusia. Tetapi naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah juga percaya bahwa kondisi manusia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keturunan.
Seiring dengan merebaknya gerakan naturalisme tumbuh pula kota-kota besar yang menjadi tempat pernukiman kaum urban yang kumuh (slum) akibat ekploitasi industri. Kemiskinan, kesengsaraan, kemelaratan serta kemerosotan moral menjadi persoalan yang kompleks. Kondisi ini memicu para naturalis untuk mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan.
Naturalisme menolak tampilan drama yang hanya didasarkan pada perkiraan terhadap kehidupan nyata. Setiap sajian drama naturalis adalah usaha mempraktekkan kehidupan nyata itu sendiri, bukan idealisasi kenyataan hidup. Drama naturalis adalah sepotong kehidupan nyata yang didasarkan pada kenyataan hidup yang keras dan kasar. Kenyataan yang ditranformasikan dalam pentas naturalisme misalnya drama sebabak Andre Antoine, Tukang Jagal, menghias pentas dengan daging-daging sapi sebenarnya seperti toko daging para penjagal dalam realita.
Meskipun disebut sebagai varian dari realisme, naturalisme mempunyai kecenderungan estetika yang sangat berbeda dengan realisme Realisme dipandang lebih obyektif daripada naturalisme. Dalam realisme segalanya digambarkan seperti keadaan yang sebenarnya, seperti yang dilihat oleh mata, tidak kurang tidak lebih. Pada seni rupa, seniman seolah-olah suatu cermin yang membayangkan kembali kehidupan sekitar dengan wama-wama, garis-garis dan gerak-geriknya. Seorang pengarang realis melukiskan tokoh-tokohnya dengan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sampai pada yang sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberikan simpati atau antipati pada tokoh-tokohnya. la membayangkan tokoh-tokohnya seperti yang sungguh-sungguh dikenalnya. Pengarang atau pelukis adalah penonton yang obyektif. la tidak memperbagus dan memperjelek orang-orang dan keadaan-keadaan yang dilukisnya
Sedangkan oleh kaum naturalis, alam dilihat melalui kehangatan rasa. Dunia luar tak bisa dilukiskan seperti apa adanya. Pusat pribadi
seniman harus turut bicara. Singkat kata dalam naturalisme sangat berkuasa pandangan dan visi seniman sendiri atas alam. Suatu pandangan yang mengandung nafsu hidup yang besar.
Membahas naturalisme mengingatkan kita pada karya-karya Raden Saleh atau Basuki Abdullah yang sering menggambarkan figur perempuan secara erotis. Pernah timbul suatu rumusan bahwa naturalisme sebagai realisme cenderung pada hal kemesuman. Ini didasarkan pada beberapa pelukisan mesum atas karya Emile Zola yang dianggap sebagai pengarang naturalis terbesar. Jika ditelusuri sebenarnya roman-roman Zola isinya tidak sernuanya serba mesum.
Dalam teater, tema-tema drama naturalis adalah tampilan kenyataan naluri-naluri dasar yang berbahaya, seperti penyimpangan seksual, ketamakan, kerakusan dan berbagai fenomena kelaparan dan kemiskinan yang kompleks. Maxim Gorky dalam dramanya Lower Depth (1920) melukiskan tokoh-tokoh yang disergap kemelaratan, hidup di gudang bawah tanah. Mereka hanya bisa hidup dengan angan-angan dan khayalan.
Kemudian Henrik Ibsen dalam A Doll House melukiskan penyimpangan seksual seorang istri bernama Nora. Tetapi suaminya yang bernama Torvald justru memaafkan perbuatan istrinya yang mencemarkan itu. Drama ini pada intinya menggambarkan pertarungan antara kebenaran melawan hipokrisi. Para tokoh realisme abad ke IX menurut Ernst Cassirer, memiliki wawasan yang lebih cermat mengenai proses seni bila dibandingkan dengan lawan-lawan mereka, para tokoh romantikisme. Mereka meyakini naturalisme yang radikal dan tak kenal kompromi. Tetapi justru naturalisme inilah yang membuat mereka memiliki konsepsi mendalam mengenai bentuk artistik. Mereka membuat pelukisan-pelukisan amat detail tentang alam dan watak-watak manusia. Terlihat juga adanya daya imajinasi yang sangat kuat, meski mereka mundur kembali pada definisi usang bahwa seni ialah imitasi alam.
Naturalisme dalam gerakan teater, ternyata hanya sanggup bertahan sampai tahun 1900. Setelah itu hanya realismelah yang berpengaruh. Realisme justru makin berpengaruh karena perkembangan teknologi yang menunjangnya, seperti diketemukannya listrik.
Realisme dan Impresionisme
Impresionisme merupakan varian lain dari realisme. Jika drama naturalis ingin memberikan lukisan pikiran-pikiran yang berat, kejadian-kejadian yang menggetarkan jiwa, tidak demikianlah dengan drama impresionis. Drama impresionis hanya berusaha melukiskan kesannya yang sepintas pada suatu hal. Kesan tersebut tidak akan didramatisasikan secara berlebih, sebab hal itu justru akan menghilangkan kesan penglihatan dan perasaan pada mula pertama.
Drama impresionis mempunyai hubungan yang implisit dengan seni rupa. Para impresionis lebih tertarik pada pemandangan yang seolah-olah ringan dan sepele. Claude Monet menernukan impresi dalam lukisannya berupa katedral yang hilang dalam kekaburan pagi buta. Demikian pula impresi sebuah jembatan dalam senja berkabut di London. Cahaya, cuaca, kabut, waktu yang merangkak dalam hari, dan warna lokal sangat penting dalam impresionisme. Latar depan lenyap, yang muncul adalah latar belakang.
Drama impresionistik menawarkan konflik yang tersamar dan berupa persoalan-persoalan yang sepele. Kecenderungan ini menjadikan karakter tokohnya terkesan tidak mengalami perubahan watak yang jelas. Alur yang menunjang drama ini juga tidak pernah menunjukkan eksposisi dan progresi yang jelas serta klimaks yang menentukan. Ini sangat berbeda dengan drama naturalis yang tokoh, alur, konflik dan persoalannya jelas. Contoh yang cukup representatif dari kecenderungan impresionistik terdapat pada karya Anton Chekov.
Drama-drama Chekov diilhami dari kehidupan masyarakat Rusia jaman ia hidup. Tokoh-tokohnya memimpikan hidup yang berguna dan berbahagia, tetapi selalu terbentur oleh lingkungan, kepribadian dirinya dan keinginan-keinginan tokoh lain. Kejadian-kejadian yang diciptakan Chekov seakan-akan tak menentu arahnya, seperti karakter tokoh-tokohnya yang juga tak menentu. Nampaknya drama-dramanya memberi kesan murung tetapi di dalamnya banyak mengandung humor. Kemurungan dan humor muncul secara simultan dalam drama-dramanya. Ini bisa dilihat misalnya pada The Cherry Orchad (Kebun Chery, 1904).
The Cherry Orchad merupakan drama Chekov yang terkesan sangat impresionistik. Drama ini berkisah tentang sekelompok tokoh yang mencoba bertahan pada makna sebidang tanah perkebunan bangsawan. Mereka masih meyakini status kebangsawanannya karena m»sih tinggal di sebuah tanah dengan berdirinya tumbuhan Chery yang merupakan pohon simbol kebangsawanan di Rusia. Keberadaan mereka dalam realita sebenarnya telah digeser oleh hadirnya orang kaya baru dari kalangan pedagang. Kekalahan mereka akhirnya ditandai dengan ditumbangkannya pohon Chery oleh pemilik baru dari tanah bangsawan tersebut.
The Moscow Art Theatre di bawah arahan sutradara Stanislavsky mementaskan drama tersebut dengan penuh melankoli dan impresi yang mendalam. Tetapi Chekov ketika itu meminta dengan tegas bahwa drama itu adalah komedi. Ternyata aktor-aktor yang memerankan tokoh-tokoh dalam drama tersebut berhasil menciptakan karakter-karakter unik yang menggelikan, tokoh-tokoh yang bodoh tetapi lucu, tanpa harus kehilangan simpati mendalam atas penderitaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut. Kombinasi tragik-komik memang senantiasa menjadi ciri-ciri yang menonjol dalam drama impresionistik. Begitu banyak persoalan yang ditimbulkan manusia karena ketamakannya, kerakusan, khayalan yang merusak diri sendiri, serta kepicikannya. Oleh karena itu yang muncul kemudian adalah sebentuk drama kehidupan yang penuh ironi.
Realisme Sosial
Aliran realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan dasar yang tepat untuk memahami realitas. Keyakinan tersebut berangkat dari suatu anggapan bahwa kenyataan tak bisa dipahami secara logis, maka kebenaran juga tak mungkin diungkapkan secara logis. Oleh karena itu kenyataan harus diperlihatkan dengan simbol-simbol. Sebuah drama symbolis cenderung bersifat samar, misterius dan membingungkan.
Sementara ekspresionisme, mendasarkan kebenaran bukan pada kenyataan-kenyataan luar seperti dalam realisme. Menurut kaum ekpresioms, kebenaran harus dicari dalam visi pribadi. Kebenaran terletak dalam jiwa, pikiran dan batin. Apa yang dianggap seseorang benar menurut batinnya harus diekspresikan meskipun tidak bersesuaian dengan dunia nyata di luarnya. Pandangan ini terasa sangat subyektif, bertentangan dengan realisme yang berusaha untuk selalu obyektif.
Sedang teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep realisme. Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht (1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada dalam puncak jaman ekspresionisme. Narnun jika kita melihat beberapa karya dramanya terlihat adanya kecenderungan menampilkan realita secara obyektif.
Realita yang ditampilkan oleh Brecht tidak sejalan dengan realisme konvensional. Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis. Karena pesan-pesan politisnya inilah teater Brecht bisa digolongkan ke dalam Arealisme sosialisa. Di samping itu karena bertujuan mengajar masyarakat untuk melihat realitas sesuai dengan pandangan yang marxistis itu, maka teater Brecht adalah juga bersifat didaktis.
Walaupun seorang marxis, Brecht tidaklah menulis lakon-lakon murahan. Sebagai seorang jenius ia dapat mengatasi kegagalan-kegagalan di bidang artistik. la kemudian tampil dengan karya-karya yang cemerlang, baik dalam bidang pemikiran, penulisan sastra lakon maupun penyutradaraan.Karena kejeniusannya dan kemampuannya di bidang artistik, ada yang beranggapan bahwa teater epik Brecht bukanlah Arealisme sosialis tapi lebih tepat digolongkan sebagai Arealisme sosial A. Ada perbedaan yang hakiki di antara ke duanya.
Realisme Sosialis, pada awalnya muncul tahun 1932 sesudah Konferensi Partai Komunis Uni Sovyet pada tanggal 30 Januari - 4 Februari 1932. Josep Stalin mengadakan perombakan besar-besaran pada seluruh aspek kehidupan, yakni perombakan dari watak proletar menuju watak sosialis. Perombakan itu termasuk dalam aktivitas budaya dan sastra yang harus memainkan peranan sebagai corong propaganda fase sosialis dalam segala bidang.
Sementara itu yang disebut dengan realisme sosial sama sekali tidak ada hubungannya dengan realisme sosialis. Pada prinsipnya realisme sosial merupakan suatu pandangan atau suatu keyakinan pengarang yang tertuang ke dalam prosa yang cermat, teliti, rinci, jujur dan obyektif dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi dan dialami oleh pengarang. Dalam realisme sosial seorang pengarang dengan sadar melakukan kritik dengan tujuan penonton menjadi kritis. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan realisme kritikal, suatu realisme sosial yang mengandung kritikan sekaligus membangkitkan reaksi kritis penonton.
Kalau diperhatikan secara teliti, realisme sosial bukanlah bagian dari struktur partai seperti dalam realisme sosialis. Aliran realisme sosial hanya menyajikan sebuah penilaian terhadap kenyataan sosial, tidak mempunyai ambisi lain kecuali menyodorkan suatu gambaran nyata yang terjadi di tengah masyarakat. Karya seni realisme sosial lebih cenderung sebagai gagasan pribadi yang mewakili golongan intelektual.
Munculnya sebutan teater epik sebetulnya untuk tujuan membedakan bentuk dan teori teateroya dengan realisme konvensional. Gaya teater epik menginginkan terjadinyajarak antara penonton, pemain dan pentas sehingga tercipta suasana kritis. Untuk menciptakan jarak ini, Brecht menciptakan prinsip V-Effect (VerfremdungsefTekt), yaitu efek pengasingan atau alienasi. Melalui efek alienasi ini baik penonton maupun pemain harus tetap mengambil jarak kritis terhadap masalah yang disajikan pengarang Penonton maupun pemain harus tetap sadar bahwa apa yang sedang mereka lihat dan alami bukanlah kehidupan, melainkan teater.
Teater Brecht bukanlah teater illusionos seperti teater realisme konvensional. Untuk itu dalam drama Brecht tidak diternukan pola penokohan yang bisa menimbulkan efek identifikasi. Sangat dihindari proses yang menjadikan penonton larut pada tokoh yang ada di panggung. Pemahaman pemeranan dalam teater epik tidaklah menuntut aktor untuk menjiwai tokoh dalam cerita yang diperankan, seperti halnya yang dianjurkan oleh Stanislavsky dalam realisme konvensional. Pemeran dalam teater epik hadir dengan sadar untuk mendemontrasikan pikiran, perasaan dan hasrat, cita-cita dan sebagainya. Walau di dalam praktek pemeranan tidaklah mudah menernukan batas-batas yang tegas antara pelaksanaan teori Stanislavsky dan teori Brecht, tapi ciri-ciri pemeranan Brecht cukup kentara. Dalam pemeranan teater epik para pemain lebih banyak mempergunakan daya ungkap gerak-gerik (gestikulasi). Pementasan sandiwara-sandiwara Brecht dan para pengikutnya biasanya ditandai dengan pemandangan pentas yang sibuk (sering ada nyanyian dan tarian) untuk tujuan alienasi.
Sastra lakon Brecht juga berbeda dengan sastra lakon realisme konvensional yang menganut faham Aristotelian. Brecht menyebut gaya lakonnya non-Aristotelian. Peristiwa-peristiwa dalam lakon Brecht tidak secara ketat dihubungkan oleh hukum sebab-akibat. Adegan demi adegan dalam lakon teater epik lebih berupa tempelan-tempelan (montage) Kesatuan lakon diciptakan dengan mengaitkan adegan satu dan yang lainya dengan menjaga keutuhan tema. Adegan- adegan tersebut biasanya disambung dengan suatu narasi yang dalam pertunjukan dilakukan oleh narator (pembawa acara).
Tata-pentas, tata-busana dan tata-perlengkapan (properties) diusahakan untuk berbeda dengan apa yang ada dalam kehidupan Sebagai contoh, kalau dalam pementasan diperlukan perlengkapan yang dibuat dari kotak-kotak bekas pembungkus sabun, maka perlengkapan itu dibiarkan seperti apa adanya. Jika kotak tersebut digunakan sebagai kursi, maka kotak tersebut tak perlu dicat. Papan-papan kotak sabun diperlihatkan seperti apa adanya agar penonton tetap sadar bahwa itu kotak sabun yang digunakan sebagai kursi.
Realisme sosial Brecht tidak muncul begitu saja. Upaya mencari gaya teater yang tidak illusionis sebagai altematif terhadap realisme konvensional telah dilakukan orang sebelumnya. Simbolisme dan Ekspresionisme yang dirintis oleh Stindberg dan tokoh-tokoh di Jerman tahun 1920-an adalah bagian dari upaya itu. Meski demikian, upaya mereka masih memberi peluang bagi keterlibatan emosional dan identifikasi penonton terhadap tokoh-tokoh yang ada di atas pentas. Hal ini sangat berbeda dengan gaya teater Brecht yang menginginkan terjadinya jarak antara penonton, pemeran dan pentas, hingga penonton bisa tetap kritis.
Dalam hubungan ini pengaruh Erwin Piscator yang bekerjasama dengan Brecht pada awal perkembangan Brecht sendiri, terasa sangat penting. Piscator yang juga seorang marxis, adalah orang pertama yang mempergunakan istilah teater epik di samping istilah sastra langsung (direct literarure). Baik teater epik maupun sastra langsung ialah sastra yang membahas masalah-masalah politik dan ekonomi secara langsung, menuntut sikap kritis pembaca dan penonton. Tuntutan ini pada gilirannya meminta bentuk dan gaya pentas, pemeranan dan sastra lakon yang berbeda dengan realisme konvensional. Demi kepentingan itu Piscator memadukan poster, slide, film dengan tata-pentas, mamadukan pemeranan dengan demagogi dan memadukan sastra, diskusi dan reportase. Pada awalnya eksperimentasi ini dianggap gagal oleh banyak kritikus tapi kemudian menjadi bentuk yang solid karena kejeniusan Brecht.
Realisme di Indonesia
Telah disinggung di depan bahwa realisme lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mantap dan mapan. Realisme menyebar ke Timur termasuk ke Indonesia sebagai gelombang pemikiran dan ilmu. Sehingga cukup logis jika pendukung faham realisme tumbuh di kalangan cendikiawan. Mereka bukan para burjuasi tetapi pribadi-pribadi yang mengenyam pendidikan Barat yang dipandang modern. Para pemrakarsa realisme dalam sastra, seni rupa, dan teater adalah mereka dari golongan berpendidikan Eropa.
Untuk memahami perkembangan teater modern di Indonesia, perlu kiranya kita memahami situasi sosial pada zaman penjajahan Belanda, saat di mana teater modern Indonesia mulai tumbuh. Zaman itu masyarakat Indonesia masih terbagi-bagi dalam golongan-golongan sosial. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ada golongan Belanda yang mempergunakan bahasa Belanda, golongan feodal dan priyayi yang menggunakan sebagian bahasa daerah dan bahasa Belanda serta bahasa Melayu-rendah. Kemudian golongan Timur-Asing yang nota bene golongan terbesarnya adalah Cina-peranakan yang menggunakan bahasa Melayu-Rendah dalam keseharian.Dengan menyadari adanya pembagian sosial, maka perkembangan teater modern Indonesia zaman itu tidaklah berada dalam satu garis lurus Terdapat perkembangan pergolongan yang ternyata pada proses selanjutnya sering terjadi persilangan.
Pada awalnya teater modern Indonesia justru berkembang dari lingkungan kurang terpelajar, yakni jenis teater bangsawan dan stamboel yang banyak mendapatkan pengaruh dari gaya teater Persia atau India di Penang, Malaysia. Rombongan pertama dari teater jenis ini muncul sekitar tahun 1891 dengan nama Komedi Stamboel. Pendiri kelompok ini adalah August Mahieu, seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya (1860-1906). Sedang penyedia modal untuk Komedi Stamboel ialah seorang Cina-peranakan bernama Yap Goan Tay dan Cassim, pembantunya.
Repertoir yang dipilih Komedi stamboel mula-mula berasal dari Cerita 1001 Malam, seperti Aladin dengan Lampu Wasiatnya, Ali Baba dengan 40 Penyarnun dan lain sebagainya. Juga dipentaskan Jula Juli Bintang tiga yang merupakan kegemaran teater bangsawan. Mengapa cerita-cerita Arab, Turki dan Parsi amat digemari penonton? Hal ini dimungkinkan karena daya tarik spectacle-nya yang berupa kostum yang bersulam fantasi gilang-gemilang. Penonton bisa melihat raja, pangeran dan bidadari, puteri serta Jin dengan pakaian rupa-warna yang sangat menarik. Kecenderungan semacam ini diteruskan oleh rombongan-rombongan sejenis seperti Komedi Opera Stamboel, Wilhelmina, Sinar Bintang Hindia dal lain sebagainya.
Pada tahun 1908 di kalangan masyarakat Cina muncul kegiatan teater yang disebut Opera-derma atau Tjoe Tee Hie. Yang menank dari kegiatan ini adalah mulai dipakainya naskah tertulis dalam bentuk dialog. Para pendukung opera tersebut bukanlah orang-orang profesional yang terbiasa bermain improvisasi. Mereka adalah para amatir yang mengantungkan dialog dari naskah.Ternyata naskah yang mereka tulis tidak hanya mengenai cerita lama Cina, tetapi justru bersifat realisme, yakni menggambarkan keadaannya masyarakat Cina-peranakan pada jaman itu untuk diambil suri-tauladannya. Narnun dalam segi pemanggungan, mereka masih mengikuti gaya komedi stamboel. Oleh karena itu timbul kemudian kecaman atas opera tersebut dari Lauw Giok Lan dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan dari golongan Cina terpelajar. Pertunjukan mereka dianggap sebagai bukan seni atau tooneelkunst.
Giok Lan justru menaruh hormat terhadap kegiatan teater yang dilakukan oleh kaum terpelajar yang tergabung dalam kelompok amatir siswa Asekola dokter Djawa, sekola menak dan sekola calon. Tujuan dari Giok Lan dan Kwee Tek Hoay jelas, yakni ingin menaikkan mutu teater semacam opera derma menjadi teater yang agak terpelajar, yakni main berdasarkan naskah, sehingga permainan lebih teratur, terencana dan rapi. Inilah sebabnya mereka berdua bertindak menulis naskah drama yang betul-betui baik . Lauw Giok Lan pada tahun 1913 menerjemahkan naskah Victor Ido, Karma-Adinda, sedangkan Kwee Tek Hoay pada tahun 1919 menyadur cerita pendek Oppenheim, The False Good, menjadi Allah yang Palsu.
Pada dasarnya kedua pengeritik di atas bertolak dari idiom teater Barat yang mereka baca dari buku-buku sastranya. Lebih jauh mereka berdua juga mengisi kekurangan dengan menulis naskah terjemahan, maka sejak saat itu teater Indonesia mendapatkan pengaruh dari unsur-unsur teater Barat. Pengaruh idiom teater Barat ini (baik dilihat dari naskah maupun pementasannya) mulai masuk ke dalam bentuk teater baru di Indonesia secara nyata pada tahun 1925. Ini ditandai dengan berdirinya rombongan Orion yang diprakarsai oleh pemilik modal yang sekaligus seorang terpelajar, yakni T.D. Tio Jr. atau Tio Tik Djien. la kemudian bersama Nyoo Cheong Seng (seorang wartawan peranakan Cina) mengembangkan Orion dengan lakon-lakon buatan sendiri yang cukup realistis.
Tonggak selanjutnya dalam perjalanan teater modern Indonesia ditandai dengan berdirinya Maya. Teater komersial ini tidak hanya dipertunjukan sebagai sarana hiburan, tetapi sudah menjadi alat kebudayaan. Kegiatan teater menjadi kegiatan intelektual karena para penggeraknya adalah golongan terpelajar. Mereka yang tergabung dalam Maya diantaranya: Usmar Ismail,D. Djajakusuma, Surjo Sumanto, Rosihan Anwar dan Abu Hanifah. Untuk mengembangkan Maya, mereka mempelajari teater secara teoritik. Kegiatan ini dilakukan secara intensif dan memicu mereka untuk mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) setelah kemerdekaan.
ATNI berdiri di Jakarta pada pertengahan 1950-an dengan pencetusnya Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan Asrul Sani. Bersamaan dengan itu berdiri juga ASDRAFI (Akademi seni Drama dan Film) di Yogyakarta. Narnun dari dua akademi teater ini, ATNI dipandang lebih menonjol. Bukan saja karena ATNI telah mengentaskan tokoh-tokoh teater yang cukup berpengaruh seperti: Steve Lim (Teguh Karya), Wahyu Sihombing, Sukamo M. Noor, Galib Husain dan sebagainya, tetapi juga karena banyaknya pementasan (23 kali) yang paling dibicarakan kaum terpelajar pada jamannya (1957-1963).
Kiblat kepada seni dan ilmu teater Barat tentu saja sebuah kenyataan yang tak mungkin dielakkan. Jika kegiatan teater sebelumnya adalah teater profesional yang komersial dengan tujuan menghibur, maka seni teater menduduki masanya sebagai kajian ilmu dan penjelajahan artistik. Buku-buku seni peran karangan Richard Boleslavsky dan Stanislavsky diterjemahkan untuk dijadikan pegangan. Ini berarti para siswa ATNI mempelajari teori peran realisme konvensional. Realisme secara konseptual diterapkan dalam teater modern Indonesia. Pengaruh ATNI cukup besar dalam kehidupan teater waktu itu ini dilihat dari pengaruh gaya realisme dengan permainan dalam cara Stanislavsky dan Boleslavsky (yang bukunya diterjemahkan oleh Asrul Sani) yang banyak dianut oleh group-group lain. Meskipun demikian nampak juga adanya reaksi terhadap realisme ATNI, misalnya gaya Brechtian dari Studikiub Teater Bandung (STB).
Dari paparan di atas terlihat adanya tranformasi gaya realis yang diambil dari kebudayaan Barat ke Indonesia. Kecenderungan yang dilakukan oleh para pernuka teater modern Indonesia hanyalah sebatas pada pengungkapan gaya. Secara ideologis mereka bukanlah para kaum realis. Mereka memahami realisme lewat pemikiran-pemikiran yang diserap dari sejarah dan teori-teori Barat.
Pada suatu masa faham realisme sosialis juga pernah diterapkan di Indonesia. Kesenian dalam kasus ini digunakan sebagai alat partai, untuk kepentingan propaganda 1960-1965). Dalam bidang teater, mereka berhasil menarik tokoh besar tahun 1950-an dan 1960-an, yaitu Utuy Tatang Sontani. Drama Utuy, Sayang Ada Orang lain yang ditulisnya sebelum masuk Lekra, diberi penekanan anti-haji. Drama-daramanya setelah itu. Si Kampeng dan Si Sapar adalah bermisikan anti-ulama. Lebih jauh lagi Lekra memasuki organisasi-organisasi teater rakyat, seperti Ludruk dan Ketoprak yang banyak mementaskan lakon-lakon anti agama dan antheistis. Sebuah pementasan yang paling sensasional pada waktu itu bei-judul Matinya Tiihan
Dalam “Sebuah Pembelaan Untuk Teater Indonesia Mutakhir” Goenawan Mohamad menanggapi ceramah Rustandi Kartakusumah yang menilai teater mutakhir sebagai kebarat-baratan dan sok absurd. Tulisan ini menjadi penting karena Gunawan berusaha mendudukkan proses teater modern Indonesia berlangsung dalam suasana dialektik antara hal-hal yang diharapkan dan yang tak disangka-sangka.Menurut Gunawan, beberapa ciri teater mutakhir adalah: berambisi menuju teater puisi yang utuh, unsur humor yang menonjol, masuknya unsur-unsur teater rakyat, serta banyak mengambil latar belakang kehidupan kaum gelandangan atau underdog yang diperlakukan secara intelektual, kemudian munculnya teater-sutradara yang berciri khas pada kepribadian sutradara.
Dari tulisan Gunawan tersirat bahwa teater modern (mutakhir) Indonesia merupakan perternuan dari berbagai gagasan. Hal ini cukup beralasan karena teater modern Indonesia adalah teater kota yang menurut istilah Umar kayam merupakan teater yang unik karena kedudukan dan fungsinya sebagai teater yang belum selesai. Teater Indonesia tumbuh dalam masyarakat yang tengah digiring menuju kepada suatu acuan budaya kota dan industri. Di sisi yang lain, mereka para pendukung teater modern juga belum sepenuhnya tercerabut dari budaya asalnya yang bermuatan tradisional. Hal inilah yang menjadikan teater modern Indonesia berwajah seperti mozaik.
Karena itu sangatlah sulit untuk memberi ciri atau nama pada bentuk teater modern Indonesia seperti yang kita kenal di dunia Barat. Tidak mudah kita mengatakan bahwa presentasi drama Kapai-Kapai Arifin C. Noer sebagai pertunjukan bergaya surealistik. Lakon tersebut memang bukan sekedar lakon verbal. Narnun dalam pemanggungannya ada terselip warna Lenong. Sedang para aktornya mengembangkan teori berperan secara psikologis dari Stanislavsky. Demikian juga pada pementasan Teater Mandiri arahan Putu Wijaya yang dikatakan oleh para kritisi sebagai tetaer mutakhir dengan roh Barong atau Rangda.
Pentas-pentas Riantiarno (Teater Koma) terlihat sekali terpengaruh bentuk teater epik Bertolt Brecht. Sastra lakon dan pemanggungan Teater Koma, seperti misalnya dalam Opera Burisrawa, Opera Primadona, Semar Gugat dan yang lainnya, terlihat ada usaha untuk mengasingkan penonton, pemain dan pentas. V-Effect betul-betui diterapkan oleh Riantiarno. Tetapi kita juga memangkap ada muatan tradisional di dalamnya, seperti memakai pantun-pantun Melayu-Rendah.
Kasus ini tidak berbeda pada Teater Gandrik atau Teater Gapit. Kedua teater ini sangat kental mengambil nuansa budaya Jawa, bahkan untuk Gapit dialognya menggunakan bahasa Jawa. Tetapi tema yang mereka sampaikan adalah realisme sosial. Sedang dekorasi panggung Gandrik pada pementasan Proyek memberi kesan simbolik. Untuk Gapit lebih sering menggunakan setting naturalistik. Lebih kesulitan lagi jika menganalisa metode pemeranan aktor-aktornya. Mereka bermain sangat spontan seperti pemain-pemain Srimulat, Ludruk ataupun Kethoprak. Narnun mereka sangat ceradas dalam menyampaikan dialog-dialog seperti tokoh-tokoh dalam drama Brecht. Pada kenyataannya pendukung kedua teater tersebut memang mendalami teater modern (Barat).
Bagaimana dengan realisme di Indonesia? Lakon Moesoenya Orang Banyak hasil terjemahan Jan-Goan dari lakon Ibsen menurut Bakdi Soemanto (2001:295) secara formal konsep realisme telah menyusup ke dalam jagat teater Indonesia. Hal itu dapat dilihat dalam lakon era Poedjangga Baru yang menunjukkan sikap tanggap kepada jiwa zaman baru. Lakon Manoesia Baroe (1940) karya Sanoesi Pane menurut Hirwan Kwardhani (1991:10) dipandang sebagai penjelmaan Faust dengan Arjuna melalui tokoh Suredranath Das-nya. Hal ini memang menarik sebagai rumusan akan tetapi yang lebih penting adanya “loncatan” dari jagat pikir mitis ke jagat pikir analitis (Bakdi Soemanto, 2001:301). Karya ini lahir sesudah Sandyakala Ning Majapahit (1933) gubahan Sanoesi Pane yang dikritik pedas oleh Sutan Takdir Alisyahbana melalui tokoh Tutty dalam Roman Layar Terkembang (1988:81-90). Dalam roman ini bagaimana Tutty, Maria dan Yusuf mengulas lakon Sendyakala Ning Majapahit dianggap tidak memuaskan. Lakon ini bernada pesimistik bagi seorang aktivis.
Jagat pikir realisme Indonesia pun semakin kuat ketika budaya tulis dibawanya. Zaman Jepang (1942-1945) yang membentuk Pusat Kebudayaan Jepang dengan salah satu badannya Poesat Sandiwara mendorong kegiatan teater sekaligus menyensor karya seni dengan ketat memberi makna penting bagi perkembangan teater. Itu semua tampak dalam lakon yang bertemakan masalah hidup sehari-hari denga tokoh-tokoh orang biasa. Masa ini Dr. Aboe Hanifah menulis lakon Taufan di atas Asia, Intelek Istimewa, Dewi Reni, Insan Kamil, Rogaya, Bambang Laut. Oesmar Ismail menulis lakon Tjitra, Liburan Seniman, Api, dll.(Boen S. Oemarjati, 1971:41-43). Kemudian Sri Murtono (1916-1986) salah seorang seniman teater Indonesia, pendiri ASDRAFI Yogyakarta telah menulis sekitar 52 lakon, dalam masa penjajahan Jepang (1943-1945) menulis lakon: Jasa Keibodan, Hotel Nusantara, dan Ditepinya Bengawan Solo (Nur Iswantara, 2001:96-103). Sri Murtono memegang teguh jiwa nasionalis, ia bergabung sebagai sutradara dalam Pusat Kebudayaan Jepang (Sendenbu) dan menyembunyikan semangat nasionalisnya dibalik kegiatan-kegiatan teater. Kerjasama ini kadang-kadang menyulitkan, dan nasionalismenya yang sangat menonjol banyak kendala baginya (Farida Soemargono, 1979:92-93).
Menurut Bakdi Soemanto (2001:305-306) titik kulminasi faham realisme di Indonesia terjadi di dua kota, yakni di Yogyakarta pada tahun 1948 berdiri Cine Drama Institute atas prakarsa Menteri Penerangan. Kemudian tahun 1949 berdirilah Institut Kebudayaan Indonesia (IKI) Jogyakarta yang diprakarsai oleh Prof. Ir. S. Purbodiningrat, Dr. Abu Hanifah, Ny. Suryadarma, Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Ny. Ali Sastroamidjojo, King Notowijono, Mtahar, Tubir, dan Sri Murtono. Dari institusi IKI Jogyakarta pada tanggal 1 Nopember 1951 lahirlah Sekolah Seni Drama dan Film (SSDRAF) dengan pimpinannya Sri Murtono. Kemudian sekolah ini pada tanggal 5 Mei 1955 berubah status menjadi Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) Yogyakarta, dengan direktur pertamanya Sri Murtono (Nur Iswantara,2001:172-211). Dan di Jakarta pada tanggal 5 September 1955 berdiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).
Di dua akademi ini , seni teaterdipelajari secara keilmuan, artinya di studi dengan pengamatan kritis, didukung teori dan data serta direfleksikan secar cendekia. Studi akademik seperti ini merupakan pola proses kesadaran teatrawan akan lingkungan, yang kemudian ditiru di sanggar-sanggar (Bakdi Soemanto,2001:306). Tentunya terrmasuk dalam menstudi seni berperan memutuhkan bahasa drama yang mudah dipahami.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita, Sinar Harapan, Jakarta, 1980. Jakob Sumardjo, lkhtisar Sejarah Teater Barat, Angkasa, Bandung, 1986.
Djakob Soemardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Jassin, H.B., Tifa Penyair dan Derahnya, PT Gunung Agung, Jakarta, 1977.
Kernodle, George R., Invitation to The Theatre, Harcourt Brace and World, Inc., New York, 1967.
Mac Graw, Hill, Ensyclopedia of World Drama Vol. 2, Mytield Publishing and Co., California, 1963.
Soedarso Sp., Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, Saku Dayar Sana, Yogyakarta, 1990.
Soedarsono, ed., Pengantar Apresiasi Seni, Balai Pustaka, Jakarta, 1992.Tomy F. Awuy, Romantisme, Schiller, dan Rampok Horison, TahunXXVIII, Jakarta, 1993, pp. 50-54.
Tuti Indra Malaon, et al., Menengok Tradisi Sebuah Alternatif Bagi Teater Modern, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 1986.

SENI SEBAGAI FOKUS BUDAYA Oleh: Soediro Satoto

I
Judul makalah ini merupakan topik yang telah ditentukan oleh Panitia Pengarah Kongres Kebudayaan V Tahun 2003 untuk utusan provinsi (dalam hal ini Provinsi Jawa Tengah).
Menurut Kuntjaraningrat (1974) ada tujuh unsur universal yang penting, sekaligus juga merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) sistem mata pencaharian hidup; (5) sistem teknologi dan peralatan; (6) seni; dan (7) bahasa. Artinya, tujuh unsur universal dan isi kebudayaan tersebut merupakan unsur-unsur yang pasti terdapat di semua kebudayaan mana pun di dunia ini (termasuk Indonesia), baik yang hidup dalam masyarakat terpencil, daerah pedesaan, maupun masyarakat kota metropolitan yang semakin kompleks.

Penempatan unsur seni sebagai fokus budaya bisa dipahami, baik dalam pengertian negatif maupun positif. Dalam pengertian negatif, seni memang merupakan unsur penting, sekaligus isi kebudayaan, tetapi bukan harus diartikan yang paling penting di antara ketujuh unsur penting lainnya seperti telah disebut di atas. Anggapan sebagian banyak orang yang memandang bahwa seni adalah sama dengan budaya, atau kesenian adalah sama dengan kebudayaan, baik sadar maupun tidak sadar mereka telah mereduksi atau mengecilkan makna kebudayaan. Bahkan ada yang beranggapan bahwa jika orang telah ‘tahu’ atau berprofesi sebagai salah satu jenis kesenian tertentu, serta merta orang tersebut lalu disebut ‘budayawan’. Ironinya media massa sering ikut melegitimasikan demikian terhadap seniman-seniman tertentu yang dipandang telah kondang. Ini jelas merugikan, baik orang yang bersangkutan maupun eksistensi kebudayaan.
Pengertian positif, baik Ernst Cassirer, salah seorang filsuf kebudayaan terbesar abad ke-20, maupun Clifford Geertz, salah seorang antropolog kenamaan, keduanya, mempermasalahkan hubungan antara manusia dan kebudayaan. Keduanya memandang manusia merupakan esensi dalam kebudayaan. Cassirer meletakkan kebudayaan sebagai usaha manusiawi untuk memahami diri sendiri dan mengatasi persoalan-persoalan melalui kreasi akal-budi dan penggunaan simbol-simbol. Bentuk-bentuk simbolis yang penting dari kehidupan manusia mendapat tekanan utama, salah satu di antaranya yang dianggap penting ialah seni. Sedangkan menurut Geertz, untuk mendekati peristiwa sosial, perlulah seorang ilmuwan tidak sekadar mencari hubungan sebab-akibat, melainkan berupaya memahami makna yang dihayati dalam sebuah kebudayaan. Kebudayaan, masih menurut Geertz, adalah anyaman makna-makna, dan manusia adalah binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna itu. Maka, kebudayaan bersifat semiotik dan kontekstual. Pendek kata, manusia, kemanusiaan, memanusiakan manusia secara manusiawi, humanitas, merupakan tema-tema yang biasa dijadikan fokus garapan dalam berkesenian.

II
Dalam kesempatan ini saya memilih Seni Teater sebagai Seni Pertunjukan, salah satu jenis kesenian, untuk dijadikan fokus bahasan dalam perspektif sosial budaya.
Seni Teater (terdapat hampir di seluruh daerah wilayah Indonesia) merupakan jenis seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan sangat akrab dengan publiknya, yaitu ‘masyarakat seni teater’ sebagai seni pertunjukan. Termasuk di dalamnya: pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager, kelompok (group) seni, pengayom atau maesenas seni (lembaga pemerintah atau non-pemerintah), alam semesta dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek, seni, dan pariwisata) yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi para seniman untuk melakukan proses kreatif seni, lembaga sekolah atau kampus (baik formal maupun non-formal), sanggar, kelompok, paguyuban, penikmat, pemerhati, kritikus seni atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen, maupun empu seni, dan jangan lupa para penonton karya seni (baik para pecandu seni maupun yang awam seni sekali pun). Baik menggunakan sarana visual, auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan atau pergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun komputer. Khusus penonton, menurut hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktor penunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi setiap seni pertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah ‘seni pertunjukan’ menjadi aneh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa? Itulah sebabnya, pengkajian atau penelitian terhadap motivasi, psikologi, sikap atau perilaku para penonton menjadi penting artinya. Juga buat para pejabat atau penguasa yang sering kurang ramah, bahkan mengecilkan arti terhadap tontonan dan penonton, sehingga mengambil ‘jalan pintas’ sebaiknya melarang saja suatu seni pertunjukan yang dikhawatirkan bisa menimbulkan ‘anarkis’.
Seni Teater sebagai Seni Pertunjukan merupakan lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem, sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun semiotik budaya yang amat kaya akan nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun oleh Seni Pertunjukan, baik tanda-tanda ikonik, indeksikal, maupun tanda-tanda simbolis.
Dalam proses dramaturgi, sebagai sebuah proses teater, seni teater sebagai seni pertunjukan merupakan tempat pertemuan, kolaborasi hampir seluruh cabang seni dan seniman di dalamnya (bahkan termasuk non-seni dan non-seniman sekali pun), untuk mewujudkan sebuah karya seni yang bulat utuh, ansambel, dan harmonis. Dalam kondisi demikian, seni teater sebagai seni kolektif, bisa memupuk sikap kerja sama, gotong royong, solidaritas, toleransi atau tenggang rasa, dan demokrasi. Maka, proses penciptaan dan proses pengkajian seni teater sebagai seni pertunjukan untuk bisa menghayati dan memahami kandungan maknanya bersifat hirarkis, berkesinambungan, berkelanjutan secara timbal-balik (formula dramaturgi). Untuk itu diperlukan kecermatan, kehati-hatian, dan nyali yang tinggi, bersifat multi dan atau interdisipliner, lintas dan silang budaya – budaya lokal – nasional – regional – global, dan begitu sebaliknya.

III
Dalam kaitannya dengan konteks budaya, karya seni, termasuk seni teater, sejak awal kehadirannya tidak dalam keadaan kosong. Artinya, kondisi sosial budaya sangat berpengaruh terhadap karakteristik seni. Sosial budaya Indonesia yang multi etnik, multi kultur, multi dimensi, menjadikan seni teater di Indonesia tidak steril dari pengaruh kondisi lokal – global.
Seperti halnya terhadap bidang-bidang ilmu dan cabang-cabang seni lainnya, seni sastra jenis seni drama dan atau teater sering dipertanyakan sebagai ilmu atau sebagai seni? Jawabnya tentu kedua-duanya, yaitu sebagai ilmu dan sebagai seni. Sebagai ilmu, seni teater dapat dikaji dan diteliti seperti ilmu-ilmu lainnya dengan menggunakan metode dan konvensi, kaidah, atau teori tertentu yang relevan dengan objek kajiannya. Sebagai seni, seni teater bisa dihayati dan dipahami seperti seni-seni yang lain yang bersifat verstehen, artinya lebih menekankan pada pemahaman daripada pengertian. Ada tiga konvensi yang harus digunakan untuk memahami setiap karya seni, termasuk seni teater, yaitu konvensi ‘bahasa’ (gramatika seni), konvensi seninya itu sendiri, dan konvensi budaya yang melingkupinya dimana karya seni itu berada.
Karena budaya Indonesia adalah multi etnik, multi kultur, dan pluralis, maka seni teater di Indonesia juga bersifat demikian. Betapa pun setiap daerah di Indonesia ada jenis seni teaternya sendiri (teater daerah atau teater tradisional), misalnya lenong di Betawi – Jakarta, kethoprak di Jawa Tengah dan Jawa Timur, wayang di Jawa dan Bali, lodrug di Jawa Timur, randai di Padang, makyong di Riau; bahkan seni pewayangan atau seni pedalangan di beberapa daerah di Indonesia dan di luar Indonesia misalnya Kelantan, India, Thailand, atau Cina, memiliki karakteristiknya masing-masing sesuai dengan budaya tempat seni pewayangan atau seni pedalangan itu berada, tumbuh dan berkembang. Hegemoni konvensi Barat terhadap seni tidak bisa dipungkiri, hal yang juga berlaku atau terjadi buat bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain di Indonesia. Namun, dalam proses penjadian, tumbuh, dan perkembangannya, seni (dalam hal ini seni teater), warna lokal telah ‘bercampur’ atau ‘lebur’ dengan warna lokal yang lain dan warna global, dengan berbagai teknik garap dan gaya masing-masing telah mewarnai karya-karya seni di Indonesia, tidak terkecuali seni teater. Bahkan, menurut hemat saya, karena sifatnya yang kolektif, kolaboratif, kompleks, tetapi ansambel dan harmonis, menjadikan seni teater di Indonesia sangat potensial punya warna lokal – global. Dengan kata lain, seni teater sangat potensial untuk dijadikan wahana pemersatu budaya bangsa dan budaya antar-bangsa. Yang pada gilirannya sangat berpotensi sebagai wahana pemersatu bangsa dan antar-bangsa. Melalui pergelaran bersama kesenian yang kolaboratif seperti seni teater, diharapkan kita, bangsa Indonesia, bisa terhindar dari konflik antar-etnik, antar-kultural, antar-suku, antar-daerah, dan ujung-ujungnya diharapkan bisa terhindar dari potensi timbulnya disintegrasi antar-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Terhindar dari disintegrasi bangsa Indonesia.
IV
Dalam pandangan Sosiologi Seni dan Psikologi Seni, karya seni (dalam hal ini seni teater), diyakini banyak bergantung atau berkolerasi dengan faktor-faktor psiko-sosial dan kultural yang melingkupinya. Faktor-faktor psiko-sosio-kultural yang melingkupi tersebut meliputi psiko-sosio-kultural pencipta seni (psiko-sosio-kultural seni), psiko-sosio-kultural karya seninya itu sendiri (psiko-sosio-kultural seniman), dan psiko-sosio-kultural audience atau publiknya (psiko-sosio-kultural audience atau publik), termasuk para pejabat pemerintahan, para politisi, para penyelenggara kesenian (baik lembaga, kelompok, sanggar, atau perorangan).
Begitu kompleks dan kolaboratifnya seni teater, sejak masih dalam ide, gagasan atau angan-angan, proses penciptaan, garapan, dan proses penjadian dan penyajiannya, seni bukan hanya merupakan fokus sosiologi seni dan psikologi seni, tetapi juga fokus budaya dalam pengertian tidak sempit.
Melihat realita demikian, dengan mengambil contoh proses teater sebagai seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kolaboratif, dan komunikatif dengan publiknya, kita bisa menyusun paradigma baru sebagai alternatif dalam menyusun konsep dan strategi kebudayaan (di) Indonesia yang multi etnik, multi kultur, dan pluralis ini sehingga terhindar dari potensi disintegrasi bangsa.

SENI SEBAGAI FOKUS BUDAYA

Teater sebagai Gerak Budaya Oleh S. Yoga

Menurut Subagio Sastrowardoyo, Dalam Bakat Alat dan Intelektualisme, seni merupakan unsur ekspresi yang paling penting di dalam budaya. Seni bahkan sering juga disamakan belaka dengan budaya. Budaya sendiri memiliki makna yang lebih luas dalam bidang lingkupnya daripada seni belaka, tetapi dalam fungsinya mengucapkan pengalaman kemasyarakatan dan kemanusiaan, senilah yang paling sanggup menyuarakan pengalaman itu dengan lebih langsung, menyeluruh dan lengkap. Ekspresi seni, apa pun bentuk dan gayanya, adalah total, sekaligus dan tanpa sisa. Kehidupan budaya menemukan pada seni alat ekspresinya yang paling tepat dan utuh. Karena itu tidaklah jauh dari kebenaran, hingga muncul identikasi budaya dan seni.
Tulisan ini mencoba mengurai benang merah apa yang pernah dilakukan oleh para teaterawan, yang akhir-akhir ini rasanya kehilangan ”kreativitasnya”. Sementara itu, gerak budaya lewat aksi-aksi teaterikal justru muncul dari kalangan aktivis, baik buruh, mahasiswa, maupun LSM. Mereka tidak lagi terkungkung dengan batas ruang pementasan. Tempat bisa saja di jalanan, plaza, timbunan sampah, depan walikota, gedung DPR/MPR, kebun, maupun trotoar. Tema pun bisa tentang apa saja, semisal dalam menyikapi hari lingkungan hidup, hari bumi, hari buruh, hari anak, maupun dalam menanggapi kebijakan pemerintah kenaikan BBM, kebijakan sampah.
Apa pun pilihan bentuk, isi pementasan atau aksi akan menjadi tanda, cara, strategi kebudayaan dalam mempengaruhi, merespons kondisi sosial dan budaya yang sedang terjadi. Dari pilihan-pilihan strategi ini, nantinya diharapkan semangat para teaterawan tergugah untuk kembali berkreativitas. Dan, dari alternatif-alternatif yang ada mereka dapat menentukan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini, kebenaran menjadi kata kunci yang selalu diagungkan dalam wujud pementasannya. Kebenaran juga berkait erat dengan kebaikan dan keindahan. Pada akhirnya, wujud seni pementasan teater juga akan mempengaruhi keefektivitasan gerak budaya pada tataran selanjutnya.

Seni untuk Masyarakat
Secara garis besar, bila kita cermati perjalanan para teaterawan di Tanah Air selama ini, ada enam kecenderungan dalam cara penyampaian dan berekspresi.
Yang pertama merupakan manifestasi budaya massa. Jadi, benarkah budaya massa—TV, majalah, koran, iklan—begitu mempengaruhi kondisi berkesenian kita? Karena banyak pementasan yang menyiratkan adegan sinetron, misteri, detektif, dan film laga. Yang mengharu-biru penonton dengan realitas di angan-angan; watak budaya massa. Bisa jadi tanpa sadar para pelaku pementasan yang bernapas budaya massa adalah produk gilang-gemilang rekayasa budaya Orde Baru yang memang membatasi gerak budaya. Budaya kritis dan analitis terhadap keadaan selama 32 tahun telah dibungkam. Maka lahirlah budaya massa yang bersifat menyenangkan saja, wishful thinking, realitas yang terjadi di dalam lamunan saja. Hal ini memang dikehendaki Orde Baru agar tak ada lagi yang mampu mengkritik kenyataan sosial-budaya yang saat itu terjadi, yang sebenarnya membekap daya cipta dan daya hidup masyarakat. Justru fenomena pementasan seperti ini secara sosiologis telah mengungkapkan ketertindasan itu secara jujur dan tanpa disadari.
Akhirnya mereka menyikapi naskah dengan asal jadi pertunjukan, baik naskah bikinan sendiri maupun adaptasi. Yang muncul di pentas tak lain konflik fisik dan kata-kata, karakter tunggal: flat character menguasai pementasan. Bentuk seninya masih dicari-cari dengan kreativitas yang belum begitu terasah. Akhirnya usaha seni yang mestinya mampu memberi kontribusi gerak budaya yang berarti belum tercapai. Akibatnya, kesadaran sosial dan kemasyarakatan menjadi terabaikan. Untuk pementasan, umumnya mereka memilih panggung atau gedung. Mungkin dalam benak mereka panggung dan gedung merupakan syarat utama sebuah pertunjukan teater. Bisa kita simak, sebagai contoh dari kasus yang pertama adalah teater-teater dadakan, baik dalam lomba teater maupun dalam pementasan-pementasan tujuh belasan, hari ulang tahun.
Bentuk kedua membuat dan memperlakukan naskah dengan cara bermain-main. Modal mereka
cenderung melawak, seperti gaya srimulat dan komedi. Kecenderungan ini bisa mengoptimalkan unsur satire dan komedinya jika pelaku menahan nafsu melawak. Memang seni adalah ekspresi kreatif, tanggapan, dan renungan seniman terhadap masyarakatnya. Ekspresi yang muncul pun bisa jadi bersifat hiburan. Akhirnya, yang mengemuka hiburan semata dan tema sosial, politik, budaya menjadi tidak begitu penting. Alhasil sumbangan terhadap gerak budaya juga tak banyak. Mungkin yang bisa menyelamatkan pementasan-pementasan semacam ini hanyalah segi hiburan yang direspons sebagai ajang ”pelarian” dari impitan kehidupan yang penuh kekerasan. Padahal, bila digarap dengan baik, bukan tidak mungkin pementasan semacam ini menjadi alternatif yang menyegarkan. Setidaknya, kita bisa menertawakan diri sendiri.
Ketiga, meski dikemas rapi dan baik, pertunjukan meninggalkan lubang besar pada kejiwaan tokoh-tokohnya. Kelompok ini sebenarnya cukup menguasai teknik teater. Namun, mereka kerap tergoda dengan hasrat pemberontakannya sehingga tidak sabar dan tidak jeli dalam menggarap teknik penyampaian (khususnya) di naskah. Dan rupanya kredo dari kelompok-kelompok ini memang sudah mengkhususkan diri yakni teater kesadaran yang didaktis. Jika kelompok ini bisa keluar dari rasa ”amarah” yang berlebihan, tentu hasilnya akan merupakan bentuk seni yang menarik. Seni bukanlah entitas yang mati, melainkan menjadi gerakan kesadaran. Ia dinamis sejalan dengan kesadaran manusia. Bentuk seninya akan menggoncang kesadaran manusia-manusia yang dikooptasi budaya birokrasi dan kesewenang-wenangan penguasa: dalam arti rekayasa budaya. Dan akhirnya seperti yang dikatakan George Lukas, seni dalam bentuk ini akan menunjukkan spiritnya yang sejati, menggeliat, meronta, berteriak melawan situasi yang menindas, menghancurkan kemanusiaan. Karena itu sejalan dengan daya hidup manusia dan gerak budaya sebenarnya. Karena modal utama kekritisan dan daya analisis yang secara akal budi terhadap fenomena kemasyarakatan yang sedang terjadi mereka kuasai. Sehingga bentuk seninya akan mampu menerobos ke masa depan.
Keempat, memilih naskah yang sublim, tetapi ekspresi seninya kurang mendapat porsi yang optimal. Sebenarnya, mereka bisa menggarap lebih jeli lagi, mengerahkan segala daya kreativitas untuk mewujudkan kompleksitas karakter: round character. Pementasan mereka akan lebih memberikan siraman rohani. Batin kita merupakan roh dari gerak budaya. Mereka mampu menyebarkan gagasan, tema yang penting guna pencerahan masyarakat yang telah dikepung segala silang sengkarut kenyataan. Mereka akan mampu merefleksikan daya cipta yang mereka temukan secara sublim dari ruang batin masyarakat yang tengah dikooptasi, dibungkam. Bila dapat mengoptimalkan bentuk seninya, kelompok-kelompok semacam ini adalah potensi besar bagi perteateran kita.
Kelima, fenomena lain yang kerap kita jumpai dalam pementasan teater, baik di gedung kesenian maupun di kampus-kampus. Munculnya pertunjukan yang penuh dengan konflik kata-kata, konflik fisik, konflik adegan, terampil beratraksi, pandai beretorika, mencomot sana-sini istilah yang lagi keren di periklanan, digabungkan dengan teknologi, politik dan dihampirkan pada agama, jadilah pementasan teater. Ditambah penguasaan medium lewat trik-trik adegan, jadilah pertunjukan yang menakjubkan inderawi, bagai film futuris atau sirkus. Urusan peran untuk sementara dilupakan.
Yang lebih penting adalah apa yang ingin disampaikan dalam pementasan, khususnya yang menyangkut demokrasi, HAM, rakyat kecil, dan kemiskinan telah mampu tersampaikan dalam pementasan itu. Pementasan menjadi alat untuk mencapai tujuan tertentu yang berujung pada kemanusiaan. Maka terjadilah sebuah revolusi dalam teater yang konon dikembangkan kaum pembaharu yang tidak puas pada ”seni untuk seni”. Maka yang penting adalah seni untuk masyarakat. Apalah gunanya seni bila tidak bicara tentang kehidupan masyarakat yang tertindas.
Keenam, mereka bersikap santai dalam menyikap kehadiran ruang pementasan. Tak perlu gedung khusus untuk memanggungkan karya-karya mereka. Yang penting, maksud dan tujuan pementasan bisa sampai ke masyarakat luas. Bentuk seninya umumnya berupa performance art di jalan-jalan, pasar, swalayan, kampus. Tujuannya mengkritik isu yang sedang berkembang, semisal kerusakan lingkungan, pengusuran, kekerasan dan lain sebagainya. Istilahnya seni instan—yang nota bene juga cukup efektif untuk membangun gerak budaya menuju demokratisasi. Pementasan-pementasan semacam ini yang akhir-akhir ini marak, sebagai sikap budaya tanding terhadap budaya global-arus besar yang mendesakkan kepentingan mereka.
Dari berbagai kecenderungan pementasan ini, kita dapat menentukan pilihan terhadap kelompok teater. Dari berbagai kelemahan yang ada, baik kurang optimalnya daya ekspresi–bentuk dan isi maupun wawasan nilai sastranya. Diharapkan dalam kesempatan mendatang kelompok-kelompok tersebut dapat membenahi diri, bukan hanya katarsis inderawi semata. Hal ini berkait dengan potensi—SDM—bagi jagad perteateran kita. Keseimbangan antarkeduanya adalah hal yang sangat penting di dalam karya teater-sastra. Keseimbangan keduanya akan memunculkan kebenaran dalam berkesenian yang bisa menerobos melampaui batas-batas moral yakni gambaran-gambaran keadaan yang humanis. Dalam titik ini ukuran estetikanya, bentuk seninya berperan membimbing manusia dalam melakukan pencarian berbagai bentuk kemungkinan masyarakat humanis, gerak budaya yang lebih demokratis.
Memang karya sastra yang baik juga haruslah menyuarakan semangat zaman, zeitgeist. Atau lebih dalam lagi, ia tak akan lekang oleh waktu. Namun dengan semangat zaman yang temporer dan membabi-buta, ia tak lebih sebagai sebuah propaganda yang nilainya cuma sesaat. Tak ada kedalaman renungan hidup. Yang ada hanyalah usaha penumpulan kecerdasan dan kehalusan budi kita—tidak memberi keaktifan, pertanyaan dan kegelisahan hidup—padahal kerja kebudayaan adalah sebaliknya. Di sinilah letak dilematis ekspresi seni teater dan umumnya. Dan di sini pula letak pentingnya kedudukan seni di dalam kehidupan. Ia bukan lokomotif demokrasi tapi ia gerak roh budaya demokrasi itu sendiri. Yang akan membimbing manusia di dalam menempuh gerak budaya, kapan pun manusia hidup secara lebih manusiawi. ***

Penulis adalah pengamat kebudayaan, alumnus FISIP Unair, tinggal di Madiun.




Copyright © Sinar Harapan 2003